Aku menenggak habis cappucino lateku yang tinggal setengah. Dingin mulai menyergapku, kukencangkan mantel wol coklat tua kesayanganku. Hari ini adalah hari ke lima musim gugur di Tokyo. Daun maple mulai berguguran, warna kuning emas menghiasi sepanjang Tokyo Ueno Park, cantik sekali.
“Ini pesananmu,” Dita menyerahkan sekotak donat kacang.
“Aku minta ya?” tanpa menunggu jawabanku, Dita mencomot sepotong donat dan mulai asyik mengunyah. Dita duduk di sampingku, di bangku taman yang menghadap lapangan rumput yang cukup luas. Sekelompok anak muda seusia kami asyik duduk-duduk di rumput sambil bercanda dan bermain musik. Aku menikmatinya, sungguh menikmatinya.
“Liburan musim dingin nanti, kamu pulang?” Tanya Dita, masih asyik mengunyah.
Aku diam saja.
“Jangan bilang tahun ini kamu ngga pulang lagi. Sudah hampir tiga tahun kamu nggak memeluk ayahmu, nggak kangen?”
Aku mendesah pelan. Pertanyaan Dita membuatku teringat ayah, teringat makam ibu, teringat halaman belakang rumahku yang nyaman, dan tentu saja teringat laki-laki itu.
***
“Bu, hari ini Ratih pulang bareng kak Bisma,” aku mengecup tangan ibu. Perempuan yang selalu cantik itu menatapku,tersenyum, lantas mulai merapikan baju dan rambutku.
“Jangan lupa bilang terima kasih pada kak Bisma,” Ibu mengecup keningku, lembut.
Usiaku empat belas tahun, kelas 2 SMP. Masa-masa SMP yang indah, aku punya banyak teman, orang tua yang menyayangiku, prestasi-prestasiku yang gemilang, dan tentu saja ada kak Bisma.
Rambut hitamnya yang lurus dan selalu rapi sudah terlihat di ujung jalan. Kak Bisma melambaikan tangannya kepadaku. Aku berlari-lari kecil menghampiri laki-laki yang aku sayangi setelah ayah dan kakekku itu.
“Kak Bisma lama banget sih? Ratih capek tau nungguin kak Bisma, udah gitu digangguin lagi sama gengnya Udin,” aku cemberut, pura-pura marah.
Seperti biasa Kak Bisma hanya tersenyum, mengacak rambutku lembut, menyetop angkot kemudian menggandeng tanganku untuk masuk ke angkutan kota berwarna kuning. Di dalam angkot aku sibuk menebak, kemana Kak Bisma mengajakku pergi hari ini? Kedai es krim kah? Atau Mall yang baru buka minggu lalu? Aku tersenyum sendiri. Iseng aku mencuri pandang pada Kak Bisma. Seragam SMA-nya sungguh membuatnya semakin terlihat menarik di mataku. Suara klakson, panasnya jakarta, sesak dan pengapnya angkot seakan menguap begitu saja jika aku melihat senyum Kak Bisma.
“Kak Bisma mirip ayah deh,”
“Mirip apanya?”
“Kalau ke Mall pasti tempat pertama yang dituju adalah toko buku!”
Kak Bisma tertawa lalu mengajakku menyusuri rak-rak buku di bagian novel terjemahan. Favoritnya adalah Sherlock Holmes dan Agatha Christie. Aneh, kali ini kak Bisma tidak membeli satu pun buku atau novel favoritnya.
“Lagi nggak ada uang,” begitu kutanya mengapa ia tak membeli novel Sherlock Holmes, padahal aku tahu ia belum memiliki seri terbaru.
“Sudah, nggak usah dipikirin, kamu lapar?”
Aku menggeleng.
“Sayangnya aku lapar, Ratih mau nemenin makan es krim?”
Mendengar kata es krim aku mengangguk cepat. Ya, kak Bisma tahu kesukaanku, tahu cara membuatku tertawa dan tahu apa yang sedang aku inginkan. Lanjutkan membaca “[Cerpen] : Mawar Merah Ibu”